Pendidikan yang Bermutu dan Adil
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu....
Cuplikan dari Pembukaan
UUD 1945
Memulai
tulisan ini, saya ingin mundur ke tahun 1980. Tahun 1980 amat bersejarah bagi
saya karena kesebelasan pujaan saya, Persiraja Banda Aceh, berhasil menjadi
juara Perserikatan PSSI.
Di
babak final, Persiraja berhasil mengalahkan Persipura, 3-1. Sebelum melangkah
ke final, Persiraja dan Persipura sudah menyisihkan tim elite pada waktu itu:
Persija, Persebaya, PSMS, dan PSM. Bahkan, di babak penyisihan, Persipura membantai
Persija Jakarta, 4-0, di Stadion Utama Senayan, Jakarta.
Saat
itu belum ada pemain asing dan semua pertandingan digelar di Stadion Utama
Senayan. Apa yang ingin saya katakan? Kalau persyaratan untuk maju sama-sama
kita miliki, dan kalau seluruh potensi masyarakat dari Sabang sampai Merauke
diberi kesempatan berkembang yang sama pula, tim-tim dari daerah akan sanggup
menjadi juara di negeri ini.
Pertanyaan
menarik: apakah mungkin Universitas Syiah Kuala dari Banda Aceh atau
Universitas Cenderawasih dari Papua akan mampu mengalahkan ranking
Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, ataupun Universitas Gadjah
Mada? Jawabnya: sangat mungkin asalkan persyaratan untuk maju diberikan oleh
pemerintah kepada semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Dalam
tulisan saya di Kompas (10/3/2016), saya menyarankan dua persyaratan berikut:
penyamaan kualitas dosen dan kualitas guru di seluruh Indonesia.
Kedua
persyaratan ini harus secara serius dipersiapkan oleh pemerintah pusat dan
daerah dalam rangka menegakkan Pancasila di seluruh wilayah NKRI. Alokasi 20
persen dari dana APBN dan APBD untuk sektor pendidikan harus dikawal betul.
Kalau tidak, kita hanya memberikan "pepesan kosong" kepada
masyarakat Indonesia untuk menikmati pendidikan yang tak bermutu, padahal
uang yang dialokasikan sangat banyak.
Setelah
kedua persyaratan itu tercapai, baru kita lepas semua PTN di Indonesia untuk
melakukan fair play. Tetapi, kalau konstruksi kebijakan pendidikan di
Indonesia tetap seperti ini, sampai kiamat pun jawabannya tidak mungkin.
Bahkan, yang terjadi, jurang kualitas PTN-PTN yang ada akan semakin dalam.
Tujuan negara kita
Untuk
apa negara ini kita bangun? Seperti kutipan Pembukaan UUD 1945 di atas,
jelas, tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Di sana tidak ada tujuan
yang sifatnya sempit: hanya untuk suku, agama, etnis, atau provinsi tertentu
saja.
Ini
artinya, tujuan dibentuknya negara kita adalah untuk memajukan masyarakat
dari Sabang sampai Merauke, tanpa pandang bulu. Para pendiri negara kita
secara cerdas juga bersepakat: Pancasila adalah dasar negara kita. Maka, buat
saya jadi aneh kalau ada pemikiran-di level PTN pula-bahwa PTN kita harus
dipilah-pilah: yang baik dan bermutu kita beri perhatian lebih, dan yang tak
bermutu kita suruh bersabar.
Selama
ini pemerintah bersikap tidak adil dan memberi perlakuan khusus kepada
sejumlah PTN kuat. Alasan yang sering kita dengar, gagasan otonomi memang
dimulai dari PTN-PTN kuat yang memiliki kemampuan dan daya saing.
Selanjutnya, secara bertahap, status PTN otonom akan diberikan kepada PTN-PTN
lemah yang menyatakan kesiapan.
Pendapat
yang menyangkut "keadilan" seperti ini terasa aneh, tak punya
perasaan, tak masuk akal dan jauh dari prinsip-prinsip kemanusiaan. Sudah
lebih dari 71 tahun kita merdeka, kita masih mengutamakan PTN kuat. Sementara
yang lemah semakin tak terurus dan terpuruk.
Kebijakan
menyangkut keadilan PTN seperti ini mirip dengan teori trickle down effect
dalam bidang ekonomi yang mengharapkan efek "menetes ke bawah" dari
kaum berpunya ke kaum tak berpunya. Teori ini tak bisa dipakai lagi karena
ternyata kontraproduktif. Dalam laporan akhir tahun Kompas (19/12/2016),
"Pembangunan Inklusif", mengutip hasil studi tim peneliti Dana
Moneter Internasional (IMF) pada 2015, menunjukkan adanya hubungan antara
ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. Dari pengamatan terhadap 159 negara
dalam kurun 1980-2012, telah teruji bahwa jika pendapatan 20 persen orang
terkaya meningkat 1 persen (poin), pertumbuhan ekonomi justru akan turun 0,08
persen (poin) pada lima tahun berikutnya. Sebaliknya, bila pendapatan 20
persen orang termiskin meningkat 1 persen (poin), pertumbuhan ekonomi
meningkat 0,38 persen.
Menurut
laporan Kompas, di kelompok orang terkaya, peningkatan pendapatan tersebut
tidak "menetes" karena hanya sedikit yang dibelanjakan. Hal yang
berbeda terjadi di kelompok orang termiskin. Peningkatan pendapatan mendorong
naik konsumsi mereka, yang kemudian mendorong produksi barang dan jasa lebih
banyak.
Penyebab sulit maju
Saya
mengamati, negara kita sangat sulit untuk maju. Rasanya, jalan yang kita
tempuh amat berliku, tak tentu arah dan sering buntu seperti labirin. Negara
kita seperti masuk dari satu labirin ke labirin lainnya. Masuk dari satu
kutukan ke kutukan lainnya.
Saya
menilai, penyebabnya kita sudah jauh bergerak meninggalkan nilai-nilai dasar
Pancasila. Rumah-rumah ibadah penuh, tetapi pemahaman agama hanya sebatas
pada tataran teoretis saja. Pada tataran praksis, semua orang ingin
mengutamakan dirinya, keluarganya, kelompoknya dan institusinya. Semua orang
berjuang untuk diri dan keluarga beserta sahabat dan pengikut-pengikutnya.
Saya
semakin percaya, (benda) apa pun itu, termasuk keadilan, tidaklah netral
seperti netralnya suatu benda apa adanya atau das Ding an sich. Tafsiran atau
persepsi terhadap benda sangat bergantung pada kaca mata yang kita pakai. Ini
sesuai pendapat Immanuel Kant (1724-1804), yang membedakan das Ding an sich
dan benda yang ditangkap oleh persepsi manusia.
Kalau
demikian halnya, ketika kita hanya mengandalkan "mekanisme pasar",
maka interpretasi atas das Ding an sich akan jadi monopoli kaum terpelajar,
kaya, pandai, kuat, dan berkuasa saja. Kaum miskin, bodoh, dan kaum dari
kumpulan yang terbuang tak akan punya akses menafsirkan das Ding an sich.
Di
sinilah seharusnya negara mengambil peran untuk menyelamatkan mereka yang
tertindas dan terpuruk. Negara tidak boleh ikut-ikutan menindas mereka yang
sudah terimpit, seperti halnya kebijakan pemerintah yang sangat memihak PTN
kuat. Pemerintah harus membantu mobilitas vertikal dari kaum terimpit ini, dengan
menyediakan pendidikan yang bermutu dan adil di seluruh Nusantara.
Syamsul Rizal ;
Profesor di Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh;
Alumnus Universitaet Hamburg,
Jerman
KOMPAS, 06 Februari 2017
Tidak ada komentar