Hari Guru Nasional dan Kurikulum Perubahan
“Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu”
Ungkapan di atas tidak kurang dari 13 abad yang lalu disampaikan Ali
Bin Abi Thalib R.A. bahwa masa-masa kita mengenyam pendidikan dulu tidak
sama dengan pendidikan masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Barangkali kata-kata ini diadaptasi oleh para pengambil kebijakan
pendidikan ditingkat elit sehingga timbul pergantian dan pengembangan
kurikulum.
Saya mencatat tidak kurang dari sembilan kali kurikulum pendidikan
kita berubah-ubah, yakni kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, 2006 yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), dan terakhir adalah kurikulum 2013 dengan alasan mutu,
relevansi, efisiensi, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan.
Kaitannya dengan hari guru nasional yang yang selalu kita rayakan
pada akhir bulan Nopember. Meskipun, peringatan hari guru nasional itu
hanya sebatas perayaan, upacara, dan bukan pada tataran aksi konkrit.
Mengingat, pendidikan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia.
Dengan pendidikan kepribadian manusia dapat dibina, ditingkatkan,
harkat, derajat, martabat, dan nilai kemanusiaannya untuk menjadi
manusia Indonesia seutuhnya.
Karena itu, pendidikan dalam kehidupan tidak dapat ditiadakan, namun
dalam prosesnya kita masih jatuh bangun membangun pendiidkan yang unggul
dan berdaya saing. Hal ini terilihat kualitas SDM Indonesia menurut
UNDP, masih berada di bawah urutan negara-negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina.
Untuk itulah, mengganti kurikulum sesuai dengan jamannya bukan
berarti selesai masalah di dunia pendidikan. Dunia pendidikan bukan
hanya soal kurikulum dan pemenuhan hak untuk mengenyam pendidikan.
Tetapi dunia pendidikan juga menuntut profesionalisme guru dan kepala
sekolah melalui supervisinya perlu untuk merubah pola revitalisasi
profesionalisme guru.
Pastinya momentum ini harus dimaknai bahwa pendidikan di masa
mendatang akan lebih baik dari pada hanya sekedar berganti produk-produk
kebijakan yang tidak populis. Artinya, pendidikan ke depan tidak hanya
mementingkan faktor perubahan dengan subtansi yang sama tetapi harus
komplek, bukan pendidikan yang cenderung parsial-parsial dan sekadar
memenuhi tuntutan kerja (link and macth). Bila peringatan hari guru
hanya dimaknai sebagai bentuk perayaan dan bukan dalam tataran konkrit,
maka bangsa Indonesia harus rela mengubur mimpinya mempunyai SDM di masa
depan.
oleh: Sismanto*)
Selamat #HGN
#IGI #IGI7tahun
Tidak ada komentar